Rahma
Nur Amalia*)
Allahu
akbar ! Allahu akbar ! seruan para pejuang dakwah menggema seiring derap
langkah, aku tak percaya ada dibarisan ini. “Rasanya aku masih hidup dalam
bayangan masa lalu, apa ini mimpi?”tanyaku pada diri. Doni memecah lamunanku “Apa
yang sedang kau lamunkan?” Aku terhentak lalu menggeleng. Aku masih ingat itu,
seiring dengan ingatanku ada rasa yang sesak dalam dada.
:) :) :)
Sorot
mentari pagi terpancar dari jendela kamar, kamar yang dipenuhi poster-poster
band rock sepanjang masa. Hari ini hari ketiga masa orientasi kampus, aku
melanjutkan pendidikanku di salah satu universitas keguruan di kota Bandung. Hari
ini akan ada penampilan dari klub- klub kampus, aku harap ada klub yang sesuai
denganku. “Klub band kampus mungkin?” batinku. Aku terus melaju mengenakan
celana jeans hitam, kaos lengan pendek bergambar the Beatles dan jaket kulit. Langkah kakiku membawaku menyusuri
gedung Fakultas Bahasa, aku tak memperhatikan orang sekitar, namun…
Mentari
tenggelam bersama senja, meringkuk tercuri malam. Aku duduk di serambi rumah
kos putra yang tak begitu rapi, bersama Gigi-gitarku aku mendendangkan beberapa
lagu ditemani secangkir kopi dan rokok.
Sudah tiga bulan kejadian di koridor fakultas bahasa itu, tetap saja aku
tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak.
Langkahku
melaju melewati koridor itu lagi. Tak ada, tak kutemui ia disana. Lajuku semakin
cepat, sambil menggendong Gigi di punggungku. Hari ini rencananya aku ingin
mengatakannya pada seseorang yang entah siapa namanya itu.
“jadi,
besok kita rapat lagi ya… Oh begitu? Iya silakan…” kudengar suara dari seberang
sana, aku memiringkan kepala, itu dia!
Ku
beranikan diri duduk di taman itu, di bangku kosong disampingnya. Entah apa
yang menggelapkan pikiranku hingga aku seberani ini. Padahal ketika SMA aku
benar-benar orang yang dingin dan ahli dalam memainkan perasaan wanita. Aku
tersenyum padanya, ia mengernyitkan dahi sambil tersenyum kecil seperti merasa
risih ada seorang pria yang duduk disampingnya. Tidak,bukan disampingnya jarak
kita sekitar satu meter.
“jreng….”
Nada pertama yang dikeluarkan Gigi. Aku membawakan sebuah lagu dari Ari Lasso
dengan percaya diri sambil menghadapkan posisku ke arahnya. Ia hanya mematung
memandang ke depan sambil memegang sebuah buku.
“kau cantik hari ini… jreng” “ .. dan
aku suka” lanjutku
Ya
dia melirik, dia tersenyum dan…. pergi?
“hey
assalamu’alaikum, aku udah lama nunggu. Jadi pergi ke mentoring kali ini?” Ucapnya
sambil menjabat tangan temannya yang berada di belakangku. Ya tuhan ! padahal
senyumnya indah sekali, tapi sayangnya bukan untukku, dan sayangnya lagi
temannya tak menyebutkan namanya, lalu siapa dia? Tadinya hari ini aku ingin
bertanya siapa namanya, atau sekedar berkenalan. Aku mematung lemas, seraya ia
berlalu. “Renza,” lamunanku terpecah ketika ada orang yang menepuk bahuku.
“hey,
Iqbal” itu Iqbal teman pertamaku di kampus.
“sudah
lama nggak ketemu ya, cerita dong sudah hampir tiga bulan kita nggak ketemu
pasti ada cerita-cerita kan?” lanjutnya. Pertanyaan Iqbal membuatku mengingatnya,
“gue,, eh saya lagi jatuh cinta” Iqbal memandang dengan serius seakan ingin
melanjutkan mendengar ceritaku. “cewek yang gimana yang bikin kamu jatuh cinta?
Mirip Tamara Blezinsky? Hehe” ia bercanda. “Beda bro, gue liat bidadari surga.
Kerudungnya panjang serba tertutup. Gue bingung kenapa bisa suka sama cewek
yang gitu, dulu waktu SMA gue sering ngejek yang begituan malah.” Iqbal
tersenyum kecil “Wanita yang baik untuk
pria yang baik, dan sebaliknya. Udah ah saya pergi dulu, nanti lanjut lagi yee”
Iqbal berlalu begitu saja.
Hari
berlalu, entah apa yang terjadi karenanya aku bisa meninggalkan sedikit demi
sedikit masa laluku. Kau tahu untuk mengubah sikap ini aku memerlukan
waktu hampir lima semester. Saat iqbal
bilang “Cinta dalam diam itu lebih keren bro, kamu cintai tuhanmu dan dia
cintai tuhannya tanpa ada yang tahu. Biar Dia yang membolak balikan hati.” Aku
tak pernah lagi menatapnya, poster di kamarku kini ku hilangkan, pakaianku pun
mulai berubah seiring berjalannya waktu. Aku mulai sering meliput berita atau
membuat syair-syair islami, aku pun sudah mulai membuat sebuah buku islam. “karena
lelaki nakal sekalipun pasti menginginkan wanita yang baik untuk menjadi ibu
bagi setiap anak-anaknya.”
J J
J
Allahu
akbar ! Allahu akbar ! seruan para pejuang dakwah menggema seiring derap
langkah, aku tak percaya ada dibarisan ini. “Rasanya aku masih hidup dalam
bayangan masa lalu, apa ini mimpi?”tanyaku pada diri. Doni memecah lamunanku “Apa
yang sedang kau lamunkan?” Aku terhentak lalu menggeleng. Aku masih ingat itu,
seiring dengan ingatanku ada rasa yang sesak dalam dada. Dia, wanita itu..
sudah lama aku tak melihatnya.
“Cie
kepengen kayak gitu ya?” Tanya doni “haha bisa saja, aku masih harus
menyelesaikan proposal skripsiku dulu. Kau tahu siapa dia?”
“Oh
itu, namanya kak Zahra Amarilia dia jurusan bahasa Arab, dia lebih tua satu
tahun dari kita. Sebentar lagi kabarnya dia akan sidang skripsi”
Lalu
lelaki disampingnya? “itu suaminya, mas Angga alumni kampus kita juga ko,
Masya Allah mereka pasangan yang cocok.”
aku tersenyum, entah apa yang kurasa. Tak banyak aku mengenalnya, mungkin
inilah takdir Allah.
Zahra
Amarilia, wanita yang kutemui hampir tiga tahun lalu. Wanita yang duduk di
koridor Fakultas Bahasa, matanya terpejam, saat itu aku tak tahu apa yang ia
lakukan. Tapi aku merasa dia sedang dalam damai. Ada suara kecil dari bibirnya,
lantunan ayat Al-Qur’an ya aku baru menyadarinya saat ini.
“kamu
kenapa?” tanya Doni. “engga, nggak apa-apa” aku memberikan senyum tulus kepada
sahabat seperjuanganku ini, selain Iqbal. Lalu pertanyannya apa aku akan
berubah lagi seperti dulu karena kak Zahra menikah dengan orang lain?
Jawabannya adalah tidak. Karena cinta sejati itu suci, ia akan hadir pada hati
yang selalu menyebut AsmaNya.
- Kontributor antologi Betapa Indah Teguranmu, Penerbit Pena Indis-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar