Jumat, 21 Agustus 2015

Cinta dalam AsmaNya

Rahma Nur Amalia*)
Allahu akbar ! Allahu akbar ! seruan para pejuang dakwah menggema seiring derap langkah, aku tak percaya ada dibarisan ini. “Rasanya aku masih hidup dalam bayangan masa lalu, apa ini mimpi?”tanyaku pada diri. Doni memecah lamunanku “Apa yang sedang kau lamunkan?” Aku terhentak lalu menggeleng. Aku masih ingat itu, seiring dengan ingatanku ada rasa yang sesak dalam dada.
:) :) :)
Sorot mentari pagi terpancar dari jendela kamar, kamar yang dipenuhi poster-poster band rock sepanjang masa. Hari ini hari ketiga masa orientasi kampus, aku melanjutkan pendidikanku di salah satu universitas keguruan di kota Bandung. Hari ini akan ada penampilan dari klub- klub kampus, aku harap ada klub yang sesuai denganku. “Klub band kampus mungkin?” batinku. Aku terus melaju mengenakan celana jeans hitam, kaos lengan pendek bergambar the Beatles dan jaket kulit. Langkah kakiku membawaku menyusuri gedung Fakultas Bahasa, aku tak memperhatikan orang sekitar, namun…
Mentari tenggelam bersama senja, meringkuk tercuri malam. Aku duduk di serambi rumah kos putra yang tak begitu rapi, bersama Gigi-gitarku aku mendendangkan beberapa lagu ditemani secangkir kopi dan rokok.  Sudah tiga bulan kejadian di koridor fakultas bahasa itu, tetap saja aku tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak.
Langkahku melaju melewati koridor itu lagi. Tak ada, tak kutemui ia disana. Lajuku semakin cepat, sambil menggendong Gigi di punggungku. Hari ini rencananya aku ingin mengatakannya pada seseorang yang entah siapa namanya itu.
“jadi, besok kita rapat lagi ya… Oh begitu? Iya silakan…” kudengar suara dari seberang sana, aku memiringkan kepala, itu dia!
Ku beranikan diri duduk di taman itu, di bangku kosong disampingnya. Entah apa yang menggelapkan pikiranku hingga aku seberani ini. Padahal ketika SMA aku benar-benar orang yang dingin dan ahli dalam memainkan perasaan wanita. Aku tersenyum padanya, ia mengernyitkan dahi sambil tersenyum kecil seperti merasa risih ada seorang pria yang duduk disampingnya. Tidak,bukan disampingnya jarak kita sekitar satu meter.
“jreng….” Nada pertama yang dikeluarkan Gigi. Aku membawakan sebuah lagu dari Ari Lasso dengan percaya diri sambil menghadapkan posisku ke arahnya. Ia hanya mematung memandang ke depan sambil memegang sebuah buku.
“kau cantik hari ini… jreng” “ .. dan aku suka” lanjutku
Ya dia melirik, dia tersenyum dan….  pergi?
“hey assalamu’alaikum, aku udah lama nunggu. Jadi pergi ke mentoring kali ini?” Ucapnya sambil menjabat tangan temannya yang berada di belakangku. Ya tuhan ! padahal senyumnya indah sekali, tapi sayangnya bukan untukku, dan sayangnya lagi temannya tak menyebutkan namanya, lalu siapa dia? Tadinya hari ini aku ingin bertanya siapa namanya, atau sekedar berkenalan. Aku mematung lemas, seraya ia berlalu. “Renza,” lamunanku terpecah ketika ada orang yang menepuk bahuku.
“hey, Iqbal” itu Iqbal teman pertamaku di kampus.
“sudah lama nggak ketemu ya, cerita dong sudah hampir tiga bulan kita nggak ketemu pasti ada cerita-cerita kan?” lanjutnya. Pertanyaan Iqbal membuatku mengingatnya, “gue,, eh saya lagi jatuh cinta” Iqbal memandang dengan serius seakan ingin melanjutkan mendengar ceritaku. “cewek yang gimana yang bikin kamu jatuh cinta? Mirip Tamara Blezinsky? Hehe” ia bercanda. “Beda bro, gue liat bidadari surga. Kerudungnya panjang serba tertutup. Gue bingung kenapa bisa suka sama cewek yang gitu, dulu waktu SMA gue sering ngejek yang begituan malah.” Iqbal tersenyum kecil  “Wanita yang baik untuk pria yang baik, dan sebaliknya. Udah ah saya pergi dulu, nanti lanjut lagi yee” Iqbal berlalu begitu saja.
Hari berlalu, entah apa yang terjadi karenanya aku bisa meninggalkan sedikit demi sedikit masa laluku. Kau tahu untuk mengubah sikap ini aku memerlukan waktu  hampir lima semester. Saat iqbal bilang “Cinta dalam diam itu lebih keren bro, kamu cintai tuhanmu dan dia cintai tuhannya tanpa ada yang tahu. Biar Dia yang membolak balikan hati.” Aku tak pernah lagi menatapnya, poster di kamarku kini ku hilangkan, pakaianku pun mulai berubah seiring berjalannya waktu. Aku mulai sering meliput berita atau membuat syair-syair islami, aku pun sudah mulai membuat sebuah buku islam. “karena lelaki nakal sekalipun pasti menginginkan wanita yang baik untuk menjadi ibu bagi setiap anak-anaknya.”
J J J
Allahu akbar ! Allahu akbar ! seruan para pejuang dakwah menggema seiring derap langkah, aku tak percaya ada dibarisan ini. “Rasanya aku masih hidup dalam bayangan masa lalu, apa ini mimpi?”tanyaku pada diri. Doni memecah lamunanku “Apa yang sedang kau lamunkan?” Aku terhentak lalu menggeleng. Aku masih ingat itu, seiring dengan ingatanku ada rasa yang sesak dalam dada. Dia, wanita itu.. sudah lama aku tak melihatnya.
“Cie kepengen kayak gitu ya?” Tanya doni “haha bisa saja, aku masih harus menyelesaikan proposal skripsiku dulu. Kau tahu siapa dia?”
“Oh itu, namanya kak Zahra Amarilia dia jurusan bahasa Arab, dia lebih tua satu tahun dari kita. Sebentar lagi kabarnya dia akan sidang skripsi”
Lalu lelaki disampingnya? “itu suaminya, mas Angga alumni kampus kita juga ko, Masya Allah  mereka pasangan yang cocok.” aku tersenyum, entah apa yang kurasa. Tak banyak aku mengenalnya, mungkin inilah takdir Allah.
Zahra Amarilia, wanita yang kutemui hampir tiga tahun lalu. Wanita yang duduk di koridor Fakultas Bahasa, matanya terpejam, saat itu aku tak tahu apa yang ia lakukan. Tapi aku merasa dia sedang dalam damai. Ada suara kecil dari bibirnya, lantunan ayat Al-Qur’an ya aku baru menyadarinya saat ini.
“kamu kenapa?” tanya Doni. “engga, nggak apa-apa” aku memberikan senyum tulus kepada sahabat seperjuanganku ini, selain Iqbal. Lalu pertanyannya apa aku akan berubah lagi seperti dulu karena kak Zahra menikah dengan orang lain? Jawabannya adalah tidak. Karena cinta sejati itu suci, ia akan hadir pada hati yang selalu menyebut AsmaNya.

 - Kontributor antologi Betapa Indah Teguranmu, Penerbit Pena Indis-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar