Jumat, 16 Februari 2018

#BiblioTrip "Muslihat Musang Emas"

#BiblioTrip, 16 Februari 2018 @Kineruku. Photos by Rahma Nur Amalia
Kanan: Budi Warsito, Tengah: Yusi Avianto, Kiri: Rakhmad Hidayatulloh
Kemarin, Jumat 16 Februari 2018 Biblio Forum mengadakan kunjungan ke diskusi literasi, program ini kami namai #BiblioTrip Goes to. #BiblioTrip kali ini kami berkunjung ke Kineruku Cafe and Library untuk menyaksikan bedah buku "Muslihat Musang Emas" Karya mas Yusi Avianto Pareanom. Pembicara dalam diskusi ini disampaikan langsung oleh mas Yusi dan Rakhmad sebagai Pembedah, juga di moderatori oleh mas Budi Warsito. Diskusi dimulai pukul 15.00 WIB dengan pembacaan cerpen oleh Andika, sambil menunggu mas Yusi yang masih dalam perjalanan selanjutnya Rakhmad menuturkan pengalaman membaca Muslihat Musang Emas. Menurut Rakhmad kumpulan cerpen mas Yusi ini sangat filmis (dapat di filmkan) dan itu sangat menarik. Banyak kosa kata baru yang mas Yusi sisipkan dalam cerpennya, salah satunya adalah "merancap" (Silakan buka KBBInya :3). Selang beberapa menit ketika Rakhmad memaparkan hasil kajian buku Muslihat Musang Emas ini akhirnya mas Yusi hadir di lokasi. Berbeda dengan para pembicara dan penulis lainya, yang menarik menurutku dari mas Yusi adalah dia sangat memegang prinsip "Apabila karya telah terbit maka penulisnya mati" lantas bedah buku sesi mas Yusi pun dimulai dengan moderator mempersilakan peserta diskusi apabila ada yang ingin ditanyakan perihal buku tersebut. Rupanya banyak peserta yang penasaran dengan alur, penamaan tokoh, dan keunikan cerita yang dikemas dalam buku ini, dan seperti dugaanku, mas Yusi tidak menjawab secara gamblang mengapa dalam 1 cerpen nama si tokoh berubah-ubah, menjelaskan alasan-alasan atau makna tersirat dalam buku. Menurut pembaca buku ini adalah buku humor yang satir, absurd, sadis, banyak keganjilan-keganjilan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya dan Rakhmad menyebutkan juga bahwa jaman sekarang sastra itu memang kurang humor, cerpen mas Yusi ini menghadirkan kembali humor-humor dalam sastra. Itu menarik ^^
.
Kalau kalian masih penasaran silakan baca bukunya
Sampai jumpa di Biblio Trip Selanjutnyaaaaa ^_^

#2 Detik

“Merenungi lagi. Aku terbaring lemah dengan sakit yang terlanjur kau kenalkan padaku. Aku ringkih, sementara kau duduk terdiam di dekat perapian. Kita sama-sama menghitung detik jarum. Mencoba membunuh waktu. Bagi kita dini hari adalah kehidupan. Karena esok pagi kita tak tahu apa yang terjadi. Kini daun meranggas dari pohonnya, musim gugur. Bersamanya aku pun menghitung napas yang tersisa.” -Sastra Anjani
# Penggalan cerpen “Detik”

#1 Detik

“Setiap hari aku menahan kebiasaan ini. Mengepalkan tangan ketika penyakitku meradang di tempat yang tidak tepat. Sementara kau terlalu asyik dengan duniamu. Padahal aku pucat pasi. Namun kau terus bercumbu dengan asap yang kau kepulkan setiap hari sambil ditemani secangkir kopi atau minuman yang kau bilang untuk menghangatkan badan.”
- Penggalan cerpen “Detik” 

Surat Dini Hari

Matahari masih terbit dari timur
Burung-burung masih berkicau dipagi hari
Petani masih bersiul seiring langkah kaki
Dan kamu masih tak di sini
Aku sudah mencarimu
Di katup-katup mawar itu
Di celah-celah ranting pepohonan
Di balik rusuk dedaunan
Aku kehilangan jejakmu
Jejak yang terhapus embus angin
Seiring membirunya hati, aku mengigil
Aku meronta saat namamu terpanggil
Biar kubercengkerama dengan merpati
Yang sudi jadi kurir tuk antar suratku pagi ini
Tapi surat hanyalah surat
Waktu ini masih ruang hampa tak berpenghuni
Kehadiranmu singkat!
Menenggelamkan tetesan airmata
Menjelmakan batu jadi debu
Terbawa angin, hinggap lalu hempas
-Bandung, 23 Maret 2015-

Sastra

Aku jatuh cinta pada aksara
Disusun jadi sebuah diksi
Menyatu jadi kalimat
Yang melekat di baitmu.
Tertegun aku pada lirik
Ungkapan yang tak mapan
Tapi elok menyejukan
Bersahaja
Semuanya melebur jadi satu
Jadi sastra yang kau baca
Kamu.
Bandung, 1 Maret 2016

Selasa, 13 Februari 2018

Asal Muasal Nama Dara

Hey semuanya :') duh udah lama ga nulis-nulis blog, oke kali ini aku mau share ke kalian asal muasal nama penaku. Jadi dulu aku pernah rencanain bikin cerpen tentang (maap) "psikopat" tokoh utamanya itu dokter bedah yang bernama Dara, dia berambut pendek, hidung mancung, kulit putih dan mempunyai badan yang ideal dengan kaki yang jenjang. Dia mempunyai sifat yang cuek, dingin, dan masa bodo, tapi ramah juga empati kepada orang-orang yang disakiti khususnya kaum perempuan yang dilecehkan, entah itu kdrt atau korban-korban pemerkosaan. (Maap vulgar)
Dia menjungjung tinggi harkat perempuan, bahwa perempuan tak harus selalu tunduk pada lelaki apalagi lelaki hidung belang yang seenaknya menginjak harga diri kaum hawa.
.
Tahun 2016, aku main game lineplay-semacam game avatar. Awalnya kuberi nama avatarku sastraanjani tapi sulit orang-orang memanggilnya. Jadi kuganti dengan nama Darra, dan akhir tahun 2016 aku menghilangkan 1 kata R di nama Darra. Ya, Dara jadi nama yang sering disapa teman-teman media sosialku, bahkan mereka lupa dengan nama asliku, ada yang baru tahu nama asliku ketika tahun 2018. Hahaha
.
Karena itulah aku punya ide kalau nama penaku menjadi Dara. Selain ringan disapa, nama dara juga masuk untuk semua genre. Teman-teman komunitas menulisku juga sudah mulai memanggilku dengan sebutan itu. Senang rasanya menemukan jati diri. Tinggal sering-sering nulis yaaa :)
Oh ya, aku lagi cari nama lengkapnya nih. Ada beberapa opsi yang pertama "Dara Edelweizza Azzahra" atau "Sastra Edelweizza Andara"
.
Thank guys, udah baca curhatanku wkwkwkwk. Tunggu postingan selanjutnya yaa ^^

Senin, 12 Februari 2018

Biar Ku Kecup Ekspresomu

::Biar Kukecup Espressomu
*dara

Aku begitu penakut.
Kita baru saja akan meneguk
Pekat, pahit espressomu
Sedang aku masih menghirup wanginya

Tak kuasa aku menyicipi sedikit pun
Padahal aku ingin
Menikmati kopi hingga tetesan akhir
Lalu bibir kita hitam, kita biarkan

Tapi aku masih hirup wanginya
Sedangkan kini kopi hanyalah kerak
Dalam cangkir yang minggu lalu kau minum

Kini, ku temui lagi kau meneguk espressomu
Di pojok sana, menghirup wanginya
Meneguk pahit pekatnya lagi
Menjadikan bibir dan gigimu meninggalkan sisa kopi
Masihkah aku takut mengecupnya?


Bandung, 21 Agustus 2017

Noktah Pena

Kutemui rindu di pelupuk matamu
Kutemui sisa rasa di pandang  teduhmu.
Kita berdua duduk berpangku tangan
Di meja angan.
.
Di ujung Dago, dengan segala balada cinta
Aku coba menggali kenanganmu
Dan kau coba membuka albumku
Memutar piringan hitam yang usang
Menyiram taman yang gersang
.
Tuhan bertahta, kita berduka
Sisa cintamu dan aku mengalir 
dalam sukma semesta.
Tak ingin waktu kian renta
Tapi takdir berkata berakhir
Kita terjebak dialektika
.
Kita tak lagi berkata
Barisan aksara melayang di udara
Rasa kita telah sampai pada sayap malam.
Lonceng telah berdenting
Urusan kita semakin genting
.
Pena kita belum habis
Kertas kita menunggu untuk ditulis
Aku masih terlena dengan teduhmu
Kau masih bercumbu dengan tawaku
.
Noktah pena berhambur di kamarku
Angin kota masih berbisik lirih namamu
Menunggu kau membelainya
Biar jadi rumah saat kau lelah, 
Biar jadi syair kala kau gundah
.
*Bandung, 27 Agustus 2017*
*Diksi Di ujung Dago terinspirasi dari puisi karya Acep Zamzam Noor